Tuesday, August 19, 2008

Bayar di atas

Kalau anda sering naik kereta api antar kota misalnya Jakarta-Semarang, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Bandung dan rute lainnya dengan kelas bisnis atau ekonomi, mungkin akan akrab dengan istilah "bayar di atas".

Istilah ini berarti calon penumpang tidak membeli tiket di loket yang telah ditentukan tetapi membayar di dalam gerbong setelah rangkaian kereta api berjalan. Siapa yang menerima pembayaran tersebut ? Tentu saja kondektur yang bertugas. Apakah "bayar di atas" ini ilegal ?

Bisa ya, bisa tidak.

"Bayar di atas" bisa legal atau dibenarkan jika pembayaran tersebut sesuai dengan tarif yang ditentukan dan diberikan bukti pembayaran mirip tiket yang disebut karcis suplisi. Jika kurang dari tarif yang ditentukan dan tidak ada bukti pembayaran maka "bayar di atas" tersebut ilegal karena uang pembayaran tidak masuk ke PT KAI tetapi masuk ke kantong oknum karyawan PT KAI.

Pada kenyataannya jarang sekali bayar di atas ini menggunakan cara legal. Cara legal ini sebenarnya digunakan jika seorang calon penumpang tidak sempat membeli tiket dan kereta sudah akan berangkat sehingga akhirnya ia membayar di atas.

Hampir seluruh praktek membayar di atas adalah ilegal dan dengan tujuan mendapatkan harga lebih murah bagi penumpang dan masuknya uang pembayaran ke kantong oknum karyawan PT KAI. Memang tidak semua uang tersebut masuk ke kantong kondektur, tetapi juga masuk ke bagian lain, tetapi tetap tidak ada yang masuk ke pendapatan PT KAI.

Harga yang jauh dibawah tarif resmi menjadikan bayar di atas merupakan pilihan utama sebagian penumpang terutama bagi penumpang berdiri. Sebagai contoh, kereta api bisnis jurusan Jawa Tengah dengan tarif resmi Rp 100.000,- hanya cukup membayar di atas Rp 10.000,- s.d Rp 15.000,-. Untuk satu gerbong, penumpang yang membayar di atas ini bisa mencapai lebih dari 20 orang. Dengan rangkaian mencapai delapan gerbong bisa dihitung berapa potensi pendapatan PT KAI yang hilang.

Sistem bayar di atas ini sudah menjadi rahasia umum diantara para penumpang kereta api. Selain karena harganya relatif sangat murah, ketidaktersediaan kursi yang cukup juga menjadi alasan bagi sebagian penumpang. Penumpang berdiri dikenakan tarif yang sama dengan penumpang yang mendapat tempat duduk. Ironisnya, ternyata membayar di atas juga terjadi pada kereta eksekutif terutama pada saat sepi penumpang.

Beberapa tahun yang lalu salah satu TV swasta pernah meliput fenomena membayar di atas ini dan cukup membuat malu PT KAI dan menggiatkan inspeksi mendadak atau menurunkan petugas khusus (sering disebut PS). Apakah hal ini membuat jera ? Ternyata tidak.

Setelah ada tayangan tersebut, muncul metode baru yaitu arisan. Kondektur tidak terang-terangan meminta atau menerima uang pembayaran tetapi hanya menghitung berapa yang tidak menunjukkan karcis resmi. Sebelumnya salah seorang penumpang telah meminta uang pembayaran (dengan istilah arisan) kepada penumpang yang akan membayar di atas. Setelah semua gerbong diperiksa oleh kondektur, tinggal jumlahnya dikalikan dengan tarif "bayar di atas" yang berlaku dan seluruh pembayaran diserahkan ke kondektur di tempat tertentu.

Bagaimanapun praktek bayar di atas ini akan tetap muncul karena pendapatan awak kereta api yang kurang, ketersediaan kursi yang tidak memadai terutama pada masa peak season, dan kurangnya pengawasan dari PT KAI, dan kesadaran penumpang sendiri untuk membayar sesuai tarif. Jika hal seperti ini tidak bisa diatasi, sulit mengharapkan keselamatan terjamin dan PT KAI tidak lagi merugi.